Indonesia merupakan negara yang majemuk
dengan berbagai latar belakang budaya, agama dan bahasa. Demikian juga dengan
media yang ada di Indonesia saat ini sangat beragam dan memiliki ciri khas
masing-masing. Televisi, Radio, Media Cetak dan Online merupakan beberapa
contoh media yang ada pada saat ini. Media dan masyarakat sudah sangat sulit
dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Sebagai salah satu penyampai informasi
media memiliki fungsi diantaranya sebagai kontrol sosial, pendidikan, hiburan,
dan yang pasti menyampaikan informasi/berita bagi masyarakat. Keadaan sekarang
ini seolah berbalik drastis, karena media cenderung tidak menjalankan fungsinya
dengan baik sebagaimana mestinya. Media saat ini lebih cenderung mengikuti alur
bisnis yang menggiurkan, tanpa sadar bahwa mereka menggunakan ruang publik yang
semestinya berpihak dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi hal
tersebut diantaranya adalah konglemerasi media/ kepentingan pemilik media.
Konglomerasi
Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang
lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan
dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai
visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan
saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala
besar baik intergrasi vertikal,intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang
berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada
pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul
Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia
adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie
Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya
dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya
yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya
sendiri.
Intinya
adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah
gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi
kebanyakan orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang
pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata
konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena
dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal
tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi
di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul,
sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu,
dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan,
nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung
dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan
homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap
menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa
besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan
didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda
bahwa regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan
media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh
ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak
akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan
masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali
menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo
diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena
kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul.
Media massa di Indonesia hanya
dimiliki segelintir pengusaha. Ini bukti, bisnis media bukanlah bisnis biasa.
Konglomerasi media di Indonesia kian terasa kala situs detikcom dibeli Chairul
Tanjung lewat Grup Paranya pada Juni 2011 lalu.
Ada 4
nama bos media yang boleh dibilang adu kuat di industri yang sarat modal
tersebut. Sebut saja Chairul Tanjung (CT), Harry Tanoesoedibjo (HT), Aburizal
Bakrie (AB), serta Surya Paloh (SP). Dari 4 nama tersebut, hanya SP yang belum
memiliki media on line secara spesifik. Lalu, hanya CT dan AB yang belum
memiliki media cetak. Sementara itu, keempat pengusaha ini sama-sama pemilik
stasiun televisi. Khusus untuk HT, dialah bos media dengan koleksi bisnis
paling lengkap. Mulai dari koran, majalah, radio, media on line, televisi,
hingga televisi berlangganan ada di genggaman kelompok bisnisnya.
Bila
ditilik lebih jauh, dari keempat bos media yang tersebut di atas, 3 orang di
antaranya menjadi tokoh publik. Baik sebagai pengurus parpol, ormas, hingga
organisasi yang membidangi isu spesifik dan strategis. Hanya HT yang tidak
terlihat menonjolkan diri sebagai tokoh publik. Alhasil, nama HT cukup dikenal
sebagai bos atau pemilik Grup MNC. Sesekali wajah dan senyumnya muncul di layar
kaca menjelang event tertentu atau sekadar menyapa pemirsa untuk mengucapkan
selamat. HT memang tidak sepopuler CT, AB, serta SP.
Konglomerasi
media memang menciptakan silang sengkarut kepentingan. Kepemilikan berbagai
jenis media yang tersentral pada satu nama tertentu, secara implisit
menampilkan kesan makin kuatnya persaingan. Muncul kesan: siapa punya apa saja.
Dilihat dari portfolio perusahaannya, jelas sudah, HT paling banyak memiliki
koleksi perusahaan media. Disusul CT, AB, serta SP. Dilihat dari postur
bisnisnya, SP tergolong paling kecil geliat bisnisnya. SP hanya punya koran
Media Indonesia serta Metro TV. Itulah mesin uang dan media yang bisa
mempopulerkan SP. Adapun CT dan AB bisa dibilang memiliki kekuatan yang berimbang.
Kedua bos ini memiliki 2 stasiun televisi dan masing-masing juga memiliki 1
media on line. Hanya saja, jika diteropong lebih jauh, raupan perolehan iklan
untuk media milik CT sepertinya masih lebih besar. Terlebih setelah CT berhasil
membeli detikcom, pundi-pundi keuntungan Grup Para bakal makin melimpah di masa
mendatang. Seperti dinyatakan oleh Pimred detikcom Budiono Darsono, “Grup Para
beruntung membeli detikcom.”
Kutipan
sumber: http://www.kompasiana.com/wildanhakim/konglomerasi-media-di-indonesia_550d8c42a33311811b2e3bbf
(dibaca 06/10/2015
17:20)
http://g341100009.blogspot.co.id/2013/02/konglomerasi-media-dan-dampaknya.html
(dibaca 06/10/2015 18:07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar