Selasa, 06 Oktober 2015

KONGLOMERASI MEDIA





Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan berbagai latar belakang budaya, agama dan bahasa. Demikian juga dengan media yang ada di Indonesia saat ini sangat beragam dan memiliki ciri khas masing-masing. Televisi, Radio, Media Cetak dan Online merupakan beberapa contoh media yang ada pada saat ini. Media dan masyarakat sudah sangat sulit dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Sebagai salah satu penyampai informasi media memiliki fungsi diantaranya sebagai kontrol sosial, pendidikan, hiburan, dan yang pasti menyampaikan informasi/berita bagi masyarakat. Keadaan sekarang ini seolah berbalik drastis, karena media cenderung tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagaimana mestinya. Media saat ini lebih cenderung mengikuti alur bisnis yang menggiurkan, tanpa sadar bahwa mereka menggunakan ruang publik yang semestinya berpihak dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya adalah konglemerasi media/ kepentingan pemilik media.

Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal,intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. 
Media massa di Indonesia hanya dimiliki segelintir pengusaha. Ini bukti, bisnis media bukanlah bisnis biasa. Konglomerasi media di Indonesia kian terasa kala situs detikcom dibeli Chairul Tanjung lewat Grup Paranya pada Juni 2011 lalu.
Ada 4 nama bos media yang boleh dibilang adu kuat di industri yang sarat modal tersebut. Sebut saja Chairul Tanjung (CT), Harry Tanoesoedibjo (HT), Aburizal Bakrie (AB), serta Surya Paloh (SP). Dari 4 nama tersebut, hanya SP yang belum memiliki media on line secara spesifik. Lalu, hanya CT dan AB yang belum memiliki media cetak. Sementara itu, keempat pengusaha ini sama-sama pemilik stasiun televisi. Khusus untuk HT, dialah bos media dengan koleksi bisnis paling lengkap. Mulai dari koran, majalah, radio, media on line, televisi, hingga televisi berlangganan ada di genggaman kelompok bisnisnya.
Bila ditilik lebih jauh, dari keempat bos media yang tersebut di atas, 3 orang di antaranya menjadi tokoh publik. Baik sebagai pengurus parpol, ormas, hingga organisasi yang membidangi isu spesifik dan strategis. Hanya HT yang tidak terlihat menonjolkan diri sebagai tokoh publik. Alhasil, nama HT cukup dikenal sebagai bos atau pemilik Grup MNC. Sesekali wajah dan senyumnya muncul di layar kaca menjelang event tertentu atau sekadar menyapa pemirsa untuk mengucapkan selamat. HT memang tidak sepopuler CT, AB, serta SP.
Konglomerasi media memang menciptakan silang sengkarut kepentingan. Kepemilikan berbagai jenis media yang tersentral pada satu nama tertentu, secara implisit menampilkan kesan makin kuatnya persaingan. Muncul kesan: siapa punya apa saja. Dilihat dari portfolio perusahaannya, jelas sudah, HT paling banyak memiliki koleksi perusahaan media. Disusul CT, AB, serta SP. Dilihat dari postur bisnisnya, SP tergolong paling kecil geliat bisnisnya. SP hanya punya koran Media Indonesia serta Metro TV. Itulah mesin uang dan media yang bisa mempopulerkan SP. Adapun CT dan AB bisa dibilang memiliki kekuatan yang berimbang. Kedua bos ini memiliki 2 stasiun televisi dan masing-masing juga memiliki 1 media on line. Hanya saja, jika diteropong lebih jauh, raupan perolehan iklan untuk media milik CT sepertinya masih lebih besar. Terlebih setelah CT berhasil membeli detikcom, pundi-pundi keuntungan Grup Para bakal makin melimpah di masa mendatang. Seperti dinyatakan oleh Pimred detikcom Budiono Darsono, “Grup Para beruntung membeli detikcom.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar